Cilegon,- Cilegonselatan.com,- Memperingati Hari Jadi Kota Cilegon ke-26, gelaran Diskusi Budaya #3 dihelat pada Jumat malam, 2 Mei 2025, di Cafe Luang Persona.
Diskusi ini mengangkat tema reflektif: “Mencatat Peristiwa dan Pergeseran Nilai Budaya”, menghadirkan lima narasumber lintas latar: KH. Nawawi Sahim, KH. Muktillah, Hj. Heni Antita Susila, Dadang Maskur, dan M. Rois Reynaldi.
Para pemateri memaparkan berbagai perspektif soal nilai-nilai budaya lokal Cilegon—dari spiritualitas pesantren, identitas perempuan, peran seniman, hingga refleksi sejarah pembangunan kota.
Diskusi ini membuka ruang untuk memahami bagaimana pergeseran nilai berlangsung di tengah arus industri dan modernisasi yang terus menggerus wajah lama kota baja ini.
“Cilegon butuh ruang-ruang pertemuan. Tempat untuk menyampaikan pikiran, membedah persoalan sosial, dan merekonstruksi kritik dari masyarakat,” kata Mang Pram, penggagas Diskusi Budaya, sekaligus Direktur Wilip Institute.
Diskusi Budaya berangkat dari kolaborasi Wilip Institute dan Studio Seni—dua komunitas yang memiliki semangat sama dalam menciptakan ruang-ruang refleksi dan literasi. Mang Pram yang juga penulis buku No LC No Party, menekankan pentingnya menghadirkan narasi-narasi baru yang membebaskan dan inklusif.
“Ini sesi ke-3, kita konsisten ingin memperkaya perspektif, membangun kesadaran kritis, dan merawat ingatan budaya lokal. Ini bukan nostalgia, tapi upaya membangun masa depan,” ujarnya.
Diskusi ini juga menjadi ruang alternatif literasi dan ekspresi budaya, di tengah dominasi narasi industri, politik dan ekonomi di Cilegon. Dengan melibatkan seniman, budayawan, akademisi, pelajar, dan masyarakat umum, acara ini berupaya menggali potensi kebudayaan lokal dan membangun arah baru pembangunan kota yang berakar pada kearifan lokal namun terbuka terhadap perubahan zaman.
Menurut Kang Indra Kusuma, Founder Studio Seni, kegiatan seperti ini harus terus dijaga konsistensinya. “Kami berharap Diskusi Budaya bisa rutin dilaksanakan, dengan kajian-kajian yang menarik, beragam perspektif keilmuan, serta mampu menghargai dan memanusiakan nilai budaya itu sendiri,” ujar Kang Indra.
Ngopi tipis-tipis yang menyertai diskusi menjadi simbol kesederhanaan, namun di baliknya tersimpan upaya besar untuk memperkuat ikatan sosial, memperkaya sudut pandang, dan menghidupkan kembali semangat kolektif warga.
“Diskusi Budaya #4 akan kami siapakan dan merancang lebih menarik lagi, karena bertepatan dengan peringkatan peristiwa Geger Cilegon. Nantikan saja, akan ada tema diskusi yang lebih menarik, ” kata Kang Indra.
Diskusi Budaya #3 menjadi penanda bahwa perayaan hari jadi kota tak harus megah. Cukup dengan ruang pertemuan yang hangat, gagasan-gagasan bisa tumbuh dan masyarakat bisa kembali terhubung dengan identitas budayanya sendiri.
Leave a Reply