KOTA SERANG – Kawasan Stadion Kota Serang, yang selama ini menjadi ramai aktivitas Pedagang Kaki Lima (PKL), kini menuai perhatian publik. Penertiban yang dilakukan Pemerintah Kota Serang melalui Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disparpora) memunculkan polemik. Para pedagang memprotes, bukan karena penertiban itu sendiri, tetapi karena dugaan adanya praktik tebang pilih dalam pelaksanaannya.
Para pedagang yang berjualan di depan Makam Pahlawan diminta untuk pindah ke lokasi baru yang disediakan di dalam stadion. Namun, beberapa pedagang yang tetap berjualan di depan stadion tidak ditertibkan, menimbulkan kecurigaan tentang ketidakadilan. Pengelola Jasa Kereta Api (PJKA), yang dianggap memiliki kewenangan atas pengelolaan kawasan stadion, hingga kini belum memberikan klarifikasi meski telah diundang oleh pemerintah untuk berdiskusi.
Bili, salah seorang pedagang pisang cokelat lumer, mengungkapkan kekecewaannya. Ia mengaku pernah mencoba berjualan di dalam stadion, namun sepinya pembeli membuatnya rugi besar. “Modal habis, Pak. Pembeli jarang masuk ke dalam. Akhirnya saya kembali berjualan di luar karena kebutuhan hidup,” ujarnya Bili, salah seorang pedagang pisang cokelat lumer
Senada dengan itu, Kabyan, pedagang cilor, menyatakan kekecewaannya terhadap pelaksanaan penertiban. “Kami siap ditertibkan, asalkan semuanya diperlakukan sama. Kalau yang lain tetap dibiarkan, itu tidak adil,” tegasnya.
Nafis, perwakilan dari Disparpora Kota Serang, menjelaskan bahwa pihaknya telah berupaya menata PKL secara adil dengan menyediakan lokasi baru di dalam stadion. Lokasi tersebut telah disosialisasikan dan disertai komitmen tertulis bermaterai yang ditandatangani para pedagang.
“Kami sudah menyediakan tempat yang lebih nyaman dan telah beberapa kali melakukan sosialisasi serta pertemuan dengan pedagang. Namun, sebagian dari mereka masih enggan pindah, padahal mereka sendiri telah menandatangani komitmen tersebut,” ujar Nafis.
Terkait pedagang yang masih berjualan di depan stadion, Nafis menegaskan bahwa penertiban dilakukan secara bertahap. “Penertiban ini bersifat bertahap dan melibatkan koordinasi dengan pihak PJKA, yang memiliki kewenangan atas bangunan di area tersebut. Kami sudah beberapa kali mengundang PJKA untuk berdiskusi, namun hingga kini belum ada respons dari mereka,” jelasnya.
Bagi para pedagang, lokasi baru di dalam stadion dianggap kurang strategis, sehingga sepi pembeli dan berdampak pada pendapatan mereka.
Penertiban PKL memang merupakan langkah penting untuk menciptakan tata kota yang rapi. Namun, bagi pedagang kecil seperti Bili dan Kabyan, yang terpenting adalah keadilan dalam pelaksanaannya. “Kalau mau menertibkan, semuanya harus ditertibkan. Jangan ada yang dibiarkan,” pinta Kabyan.
Polemik ini mencerminkan tarik ulur antara kebutuhan pedagang kecil dan kebijakan pemerintah. Di satu sisi, pemerintah berupaya menciptakan keteraturan, sementara di sisi lain, pedagang membutuhkan ruang untuk mencari nafkah.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya kebijakan publik yang berkeadilan dan transparan. Pemerintah diharapkan bersikap tegas namun tetap humanis dalam menata kota, sementara pedagang diimbau untuk mematuhi aturan demi terciptanya keseimbangan antara kepentingan umum dan pribadi.
Kini, Stadion Kota Serang menjadi simbol perjuangan mencari keadilan, di mana semua pihak berharap agar kebijakan yang diterapkan dapat dirasakan manfaatnya secara merata.
Leave a Reply